yudiachmadriski

Saat pertama saya masuk di organisasi kampus, saya diberikan materi keorganisaian. Kata mereka, “Dengan berorganisasi kita secara tersendiri akan terdidik untuk berani bicara di depan.”. Memang tak salah. Karena di organisasi kemahasiswaan adalah tempat kita belajar menjadi pemimpin. Untuk menjadi pemimpin tentu kita harus pandai bicara, atau setidaknya berani bicara.

Nah, saat ini saya berpikir.
Ada satu pelajaran lain yang lupa ditanamkan saat saya di organsiasi tersebut. Yaitu, belajar mendengar. Ternyata dalam kehidupan sehari-hari kita sangat sukar  memposisikan diri sebagai pendengar. Ada kalanya, ketika kita berada dalam satu kelompok, di mana teman-teman kita bicara tak habis-habisnya. Kita di situ seolah diajak hanya untuk menjadi pendengar budiman. Meski tidak ngamuk, dalam hati sedikit banyak kita akan jenuh juga.

Namun bukan itu yang saya maksud belajar mendengar. Mendengar di sini adalah menjadi tong sampah bagi orang lain. Tong sampah? Iya tong sampah. Coba anda ke sebuah tong sampah di pinggir jalan. Lihat apa isi di sana. Sudah tentu, plastik bekas, kardus, kaleng minuman, daun-daun kering, punting rokok, kadang juga bangkai anjing. Semua orang pasti sepakat, apapun yang sudah masuk tong sampah tak layak digunakan lagi. Makanya ada istilah ‘sampah masyarakat’ artinya seseorang yang tidak diinginkan lagi keberadaannya di satu wilayah oleh masyarakat setempat.

Sebenarnya menjadi tong sampah ada baiknya. Karena akan banyak dicari orang. Selain itu menjadi pendengar, berarti kita termasuk orang-orang yang diberikan kepercayaan. Contohnya begini.  Di satu kelompok ada seorang yang selalu jadi tempat kawan-kawan curhat, minta nasehat atau hanya sekedar berbagi cerita. Setiap ada teman yang mengalami masalah ia menampung aspirasi mereka. (Aspisari, semacam demoa ke dpr saja).

Orang semacam ini selalu ada waktu untuk menjadi sandaran bagi orang lain. Ia manut mendengar setiap kata yang keluar pahit dari mulut kawannya sampai tuntas. Baru setelah itu, solusi-solusi atau pendapat ia berikan.  Biasanya ya, perasaan Si Pendengar ini halus, sehalus rambut yang tiap hari dikeramas pakai shampoo. Orang yang sanggup mendengar tak mudah tersinggung. Karena ia mencoba memahami perasaan orang yang sedang marah kepadanya.

Siapa yang pernah ikut rapat mahasiswa. Ya, saya yakin anda yang sedang membaca ini pernah ikut rapat. Meski bukan rapat kaum intelektuan agen of chage. Minimal rapat pelebaran lorong di desa anda. Seseorang yang selalu ingin pendapatnya di terima cendrung ‘gleung aki lam tanoh’ agar idenya diakomomodir.  Orang semacam ini suka menimbulkan perdebatan. Seolah-seolah semua peserta rapat wajib mendengar dan mengikuti pendapatnya. Maka gaduhlah rapat itu, Karena selain dia ada beberapa orang yang suka tidak bisa menjadi pendengar. Maka sudah bisa dibayangkan, perang kata tak terelakkan. Suara-suara saling mendahului.

Padahal kalau mereka bisa memposisikan diri sebagai pendengar, maka rapat akan berlangsung tertip. Bicara satu persatu. Setelah menjadi pembicara berubah menjadi pendengar. Saat kita menjadi pendengar berarti kita telah memberikan kesempatan bagi untuk berbicara, mengemukakan pendapatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN (SIM )

Program Kerja SHE pt kai/kereta api indonesia

Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948)