pengerian ketangguhan nasional

Menguji Ketangguhan Indonesia Menghadapi Bencana Melimpah, itulah kekayaan alam yang terkandung di wilayah Nusantara. Bangsa Indonesia seyogianya pandai bersyukur dengan anugrah besar tersebut, karena harus harus diingat Indonesia juga kaya akan bencana. Kepulauan Indonesia terbentuk dari titik-titik pertemuan lempeng bumi. Di bagian barat, lempeng Eurasia bertumbukan langsung dengan lempeng Indo-Australia, dan di bagian timur adalah pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Filipina, Pasifik dan Australia. Letak geografis yang demikian ini, menjadikan negeri ini sarat dengan kejadian-kejadian bencana, seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, serta gunung berapi. Selain itu, kerentanan Indonesia pun diyakini semakin meningkat dengan perubahan iklim global dan laju jumlah penduduk beserta pluralitas yang ada. Betapa tingginya tingkat risiko yang dihadapi dengan karakter geografis, demografis, serta berbagai aspek lainnya. Gunung berapi yang tersebar dari ujung tanah Sabang, Pulau Sumatera sampai daratan Meraoke di Papua, juga siap memuntahkan isi perutnya kapan saja. Indonesia boleh disebut pemegang rekornya. Ada 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi ini terletak di dasar laut. Kenyatan berada di dalam aktivitas lempeng dunia ini membuat Indonesia menjadi negara rawan gempa dan tsunami, karena aktivitas tektoniknya yang terus aktif. Data Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) 2010 menyebutkan, dari total 354 daerah yang rawan bencana, wilayah berpotensi tsunami tingkat tinggi sebanyak 175, dan 179 daerah tingkat tsunami sedang. Sejak 1629 hingga 2010 atau dalam kurun 381 tahun, tsunami sudah terjadi sebanyak 171 kali di Indonesia. Dari peta daerah rawan bencana juga menunjukkan satu dari tiga desa di Indonesia masuk kategori rawan bencana. Dari 497 kabupaten/kota, 176 di antaranya rentan terhadap bencana banjir, 154 kabupaten/kota berisiko tinggi longsor, dan 153 lainnya terancam kekeringan. Indonesia juga menempati urutan ketiga sebagai negara rawan banjir. Urutan pertama dan kedua diduduki India dan China. Bencana banjir di Indonesia disebabkan beberapa faktor di antaranya kondisi curah hujan tinggi dan kondisi sebagian tanah tidak lagi mampu menyerap air dengan baik akibat proses perusakan hutan dan daerah aliran sungai. Data BNPB menunjukkan 84% kawasan Indonesia rawan bencana dan 80%-nya merupakan bencana ekologis. Sedikit ke belakang, masih ingat dengan gempa Aceh 9,1 SR disusul tsunami yang menewaskan 230.000 orang di sejumlah negara dan paling banyak di Indonesia. Bencana tidak hanya mengancam kelangsungan hidup, namun telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Belum lagi dampak kerugian lain, yakni pada sisi psikologis masyarakat serta sendi-sendi kehidupan lainnya, seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial. Dalam rilis terbaru BNPB disebutkan, kerugian materiil akibat bencana yang terjadi di Indonesia mencapai Rp105 trilliun, hanya lebih kecil Rp15 triliun dari subsidi bahan bakar minyak tahun 2011 yang mencapai Rp120 trilliun. Kerugian materil ini diakibatkan delapan kejadian bencana besar di Indonesia sejak tsunami Aceh hingga erupsi Merapi. Rinciannya, kerugian untuk bencana gempa bumi dan tsunami Aceh dan Nias sebesar Rp 41,4 trilliun. Gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 sebesar Rp29,1 trilliun. Gempa bumi di Sumatera Barat pada tahun 2007 sebesar Rp 2,5 trilliun. Banjir Jakarta tahun 2007 sebesar Rp5,2 trilliun. Gempa bumi di Bengkulu tahun 2007 sebesar Rp1,9 trilliun. Gempa bumi di Padang tahun 2009 sebesar Rp20,9 trilliun. Kemudian kerusakan akibat gempa bumi dan tsunami Mentawai tahun 2010 sebesar Rp0,35 trilliun. Banjir bandang Wasior tahun 2010 sebesar Rp0,28 trilliun dan erupsi Merapi tahun 2010 sebesar Rp3,56 trilliun. Lalu apa yang harus dilakukan ketika kita hidup di tengah-tengah teror bencana alam? Menyadari dampak bencana, penting ditumbuhkan kesadaran dan pembudayaan pengurangan risiko bencana. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat nampaknya tidak selalu dapat menyelesaikan masalah. Di sisi lain, keagungan pemikiran dan nilai-nilai budaya dalam kearifan lokal dalam beberapa kasus mampu menjawab tantangan yang ada, khususnya dalam penanggulangan bencana alam. Kombinasi antara kedua pengetahuan tersebut dapat menjadi kunci menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia. BNPB sering mengingatkan warga di daerah rawan bencana alam agar menggali kearifan lokal untuk dapat dijadikan sebagai peringatan dini ketika ada ancaman tsunami. Penggalian kembali kearifan lokal sangat penting dalam upaya penyelamatan masyarakat dari gelombang tsunami. Kebijaksanaan lokal yang dipahami dan diterapkan sejumlah daerah sudah terbukti dalam mengurangi korban jiwa. Sebagai contoh di Kabupaten Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memahami dan mempunyai kearifan lokal yang dikenal Semong. Dari sekira 400 ribu penduduk di kepulauan itu, hanya sedikit yang meninggal akibat bencana gelombang tsunami yang terjadi pada 2004. Sekadar diketahui, Semong adalah kearifan lokal masyarakat di Pulau Simeulue dalam membaca fenomena alam pantai telah menyelamatkan banyak masyarakat dari bencana tsunami. Teriakan Semong merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi di mana air laut surut dan masyarakat harus lari ke bukit. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi puluhan tahun lalu. Semong ini yang menyelamatkan masyarakat di pulau Simeulue, padahal secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat gempa. Semong bagi masyarakat pulau Simeulue disosialisasikan turun-temurun melalui dongeng dan legenda oleh tokoh masyarakat, sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati masyarakat pulau itu. Namun pengetahuan masyarakat tentang kearifan lokal terasa semakin menurun, karena minim sosialisasi dan pembinaan, sehingga peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat sangat mutlak diperlukan. Sejalan dengan itu, penggalian terhadap kearifan lokal sangat diperlukan, karena memberikan pemahaman dan panduan dalam lingkup tradisi lokal bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk pengetahuan ciri-ciri bencana dan larangan melakukan kegiatan yang merusak lingkungan atau keseimbangan ekosistem. Menggali potensi kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan partisipatif dan melibatkan dukungan banyak pihak, seperti budayawan, sosiolog, tokoh masyarakat dan pendidik. Kearifan lokal yang mulai kurang dikenal dan dihayati dapat diformat dalam bahasa publik, bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Pendidikan mitigasi Dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi bencana didefinisikan sebagai sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Budaya mitigasi berbasis kearifan lokal perlu dibangun sejak dini dalam diri setiap elemen masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi dibangun bukan pula hanya sebagai sistem peringatan dini tetapi menjadi sebuah budaya dalam perilaku masyarakat. Langkah efektif yang bisa dilakukan antara lain adalah melalui pembekalan kepada masyarakat baik melalui pendidikan di bangku sekolah maupun pelatihan kepada masyarakat umum. Pengetahuan tentang kebencanaan seyogianya menjadi muatan lokal di wilayah yang paling rawan gempa. Pendidikan di sekolah bagi siswa sangat strategis untuk menanamkan pengetahuan tentang kebencanaan sejak usia dini dan sosialisasi tentang kearifan lokal yang dimiliki daerah tersebut. Sekolah adalah sarana yang efektif, di mana dengan peran guru terhadap murid mampu mendorong terbangunnya budaya mitigasi dalam lingkup sekolah dan keluarga. Sekolah siap menghadapi risiko bencana penting artinya jika merujuk data Bank Dunia tahun 2010 yang menyebutkan jumlah sekolah di Indonesia termasuk empat yang terbanyak di dunia. Dari 144.507 SD, sebanyak 109.401 SD berada di provinsi dengan risiko gempa tinggi. Untuk SLB, sebanyak 1.147 sekolah dari total 1.455 sekolahnya berisiko terkena gempa. Begitu pula dengan SMP yang berjumlah 18.855 sekolah dari total 26.277 juga berada dalam risiko gempa tinggi. Semantara dari total 10.239 SMA di Indonesia, sebanyak 7.237 sekolahnya berada di kawasan dengan risiko gempa yang cukup tinggi. Dengan demikian, sekolah merupakan ruang publik dengan tingkat kerentanan tinggi. Pengalaman gempa Sumatera Barat menunjukkan betapa besarnya dampak kerusakan sekolah, khususnya ruang kelas. Akibatnya, proses kegiatan belajar-mengajar secara normal pun terhenti. Hampir di sebagian besar wilayah Indonesia, sarana dan prasarana sekolah yang ada sangatlah rentan terhadap bencana. Selain infrastruktur bangunan sekolah, tak dapat dibayangkan apabila kejadian bencana terjadi pada jam-jam sekolah. Gempa bumi 12 Mei 2008 di Sichuan, China, memberikan gambaran besarnya dampak ketika bencana terjadi di jam sekolah. Gempa berkekuatan 7,9 skala richter itu menewaskan 87.000 orang dengan sedikitnya 5.335 murid. Artinya, sekitar 6% korban tewas adalah anak-anak sekolah. Berdasar laporan media pemerintah Cina, lebih dari 7.000 bangunan sekolah runtuh dan menimbun para pelajar dan guru. Ironisnya, banyak bangunan di sekitar sekolah yang masih tegak. Para orangtua korban pun menuding telah terjadi korupsi dalam pembangunan gedung sekolah, karena mutu material bangunan buruk, maka banyak gedung sekolah runtuh ketika terjadi gempa tersebut. Dari fakta di atas, maka pengupayaan kesiapsiagaan bencana di sekolah menjadi agenda penting bersama yang merupakan upaya dan tanggung jawab dari warga sekolah dan para pemangku kepentingan sekolah. Oleh sebab itu, konsep Sekolah Siaga Bencana (SSB) yang disusun Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) dan BNPB harus segera diimplemtasikan secara menyeluruh. SSB adalah sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengelola risiko bencana di lingkungannya. Tujuan SSB adalah untuk membangun budaya siaga dan budaya aman di sekolah, serta membangun ketahanan dalam menghadapi bencana oleh warga sekolah. Untuk mempraktikkan SSB diperlukan perencanaan kesiapsiagaan dan mobilisasi sumber daya. Perencanaan kesiapsiagaan bertujuan untuk menjamin adanya tindakan cepat dan tepat guna pada saat terjadi bencana dengan memadukan dan mempertimbangkan sistem penanggulangan bencana di daerah dan disesuaikan kondisi wilayah setempat. Sedangkan mobilisasi sumber daya didasarkan pada kemampuan sekolah dan pemangku sekolah. Mobilisasi ini juga terbuka bagi peluang partisipasi dari para pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, pelaksanaan dan praktik SSB di sekolah sangat membutuhkan kerja sama semua komponen sekolah yang meliputi anak-anak didik, orang tua murid, guru (pendidik dan profesional lainnya), lembaga nonpemerintah (baik lokal, nasional maupun internasional), serta lembaga donor. Untuk mengimplementasikan sekolah aman bencana ini membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Sayangnya, distribusi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan sekolah aman bencana tidak sesuai dengan harapan. Pasalnya, DAK Khusus Pendidikan lebih banyak digunakan untuk pembangunan nonfisik, padahal nilai pagu DAK ini pada tahun 2011 mencapai Rp10 triliun. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, komponen sekolah aman diusulkan dimasukkan ke dalam DAK pendidikan tahun 2011 yang nilainya Rp10 triliun. Penggunaannya tidak semua masuk ke fisik, tapi dominan ke aspek nonfisik. Hal ini, kata dia, sangat disayangkan karena banyak sekolah yang bisa jatuh menimpa guru dan murid dan menimbulkan korban. Apalagi catatan BNPB menunjukkan bencana tsunami Aceh tahun 2004 menghancurkan lebih dari 2000 sekolah di Yogyakarta pada 2006 menghancurkan 2.900 sekolah. Gempabumi Sumatra Barat 2009 merusak 241 sekolah, dan bencana di Mentawai menyebabkan 7 sekolah hancur. “BNPB sudah menyusun panduan sekolah aman bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasiona l, Bank Dunia, Kementerian Pekerjaan Umum, Institut Teknologi Bandung dan LSM,” papar Sutopo. Selain itu, BNPB menyusun program pelatihan untuk kontraktor dan panitia pengawas soal teknik pelaksanaan dan pengawasan proses perkuatan struktur dan faktor keselamatan bangunan dan lingkungan sekolah. Menurut Sutopo, kampanye sekolah aman harus terus disosialisasikan sejalan dengan penyiapan sistem pendidikan yang membangun kesadaran dan kemampuan anak didik tanggap bencana. Sementara itu Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementrian ESDM Surono menyatakan bahwa pendidikan mitigasi bencana harus diterapkan dalam pendidikan formal mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Dia menyebutkan bahwa kondisi multibahaya dan multiresiko tidak dapat diubah. Namun dengan pengelolaan manajemen yang benar maka korban jiwa dan harta benda ketika terjadi bencana dapat diminimalisasikan. Surono atau yang biasa disapa Mbah Rono menegaskan, informasi mengenai bahaya dan risiko bencana dapat menjadi faktor penting dalam pengelolaan bencana.Informasi tersebut dapat digunakan sebagai acuan baik dalam proteksi prabencana, penanganan darurat pada saat bencana, maupun pemulihan pasca bencana. Informasi mengenai bencana khususnya gempa bumi di daerah tertentu di Indonesia masih menggunakan cara-cara yang irasional atau cenderung mistis. Hal ini terkait dengan norma dan budaya masyarakat tertentu. “Mempertahankan norma dan budaya suatu daerah bukanlah yang buruk. Namun agar informasi mengenai suatu bencana lebih aktual maka tidak ada salahnya memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih,” ujarnya. Pada akhirnya, membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi dan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus dengan komitmen penuh. Indonesia jangan malu belajar dari Jepang. Negeri Matahari Terbit itu selalu tersadar akan risiko negerinya yang diintai gempa. Mereka pun mempersiapkan segala keperluan untuk “bisa terhindar” dari amukan alam. Banguna dibuat sedemikian kuat. Sistem early warning juga begitu majunya. Dalam situasi tanggap darurat, pemerintah Jepang juga sangat cekatan. Dalam sekejap pemerintah Jepang sudah mengerahkan 100.000 anggota pasukan bela dirinya, mendistribusikan 120.000 botol air, 110.000 liter bahan bakar dan makanan siap saji ke daerah bencana. Hal seperti itulah yang mestinya menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Alam, selain memberikan manfaat bagi kelangsungan umat manusia juga memberikan pelajaran berharga. Salah satunya dengan peristiwa bencana. Manusia dengan kelebihan akalnya akan mampu menangkap tanda-tanda sebagai bentuk proteksi dan adaptasi dari perubahan alam. Kadang kesombongan manusialah yang memperburuk dampak dari siklus alami ini. Nenek moyang bangsa ini berhasil membaca sinyal alam menjadi satu falsafah hidup dan melahirkan nilai-nilai kearifan lokal. Namun, manusia moderan yang mendewakan teknologi banyak mengabaikan warisan luhur ini. Fenomena alam sebagai daur ulang kehidupan manusia dan alam semesta dengan periode tertentu dapat berubah menjadi bencana yang menyeramkan. Karena itu, bencana alam harus mendesak manusia lebih memahami the power of nature. Dalam hal ini, BNPB memegang perang siginifikan. BNPB yang memegang amanat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 dituntut mampu peran koordinasi penanggulangan bencana di pusat dan daerah dalam meningkatkan kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana, serta membangun kesadaran masyarakat dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. BNPB menjadi motor penggerak mewujudkan ketangguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana dan semua elemen masyarakat turut berperan aktif. Dengan demikian, bencana seyogianya membuat manusia semakin sadar pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, menggali nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Lepas dari itu semua, bencana bukanlah suatu kebetulan, seperti kelahiran, kematian, rezeki dan jodoh, semuanya tercatat di lauhul mahfudz. “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadid: 22-23). sumber nya : http://regional.kompasiana.com/2011/08/09/menguji-ketangguhan-indonesia-menghadapi-bencana-387476.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN (SIM )

Program Kerja SHE pt kai/kereta api indonesia

Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948)